Kamis, 14 Juli 2011

Anemia Aplastik ( Praktikum di RSUD Berkah Pandeglang )

BAB I
PENDAHULUAN
1.1            Latar Belakang
           Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Paul Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsi ditemukan tidak ada sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan pada fungsi sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia aplastik.
Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas merupakan salah satu faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti kloramfenikol terbukti dapat mensupresi sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang sehingga diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.
1.2            Rumusan Masalah
                 1.    Apa yang di maksud dengan Anemia aplastik ?
                 2.    Apa saja gejala-gejala Anemia aplastik ?
                 3.    Apa saja penyebab Anemia aplastik ?
                 4.    Apa saja komplikasi-komplikasi Anemia aplastik ?
                 5.    Apa saja pencegahan Anemia aplastik ?
                 6.    Bagaimana mendiagnosis Anemia aplastik ?

1.3            Tujuan
                 1.3.1 Tujuan Umum
            Untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan tentang penyakit Anemia   
            aplastik.

     1.3.2 Tujuan Khusus
1.      mendeskripsikan yang di maksud dengan Anemia aplastik.
2.      Mendeskripsikan gejala-gejala Anemia aplastik.
3.      Mendeskripsikan penyebab Anemia aplastik.
4.      Mendesskripsikan komplikasi-komplikasi Anemia aplastik.
5.      Mendeskripsikan pencegahan Anemia aplastik.
6.      Mendeskripsikan mendiagnosis Anemia aplastik.
1.4            Metode penulisan
     Makalah ini disusun menggunakan metode pengumpulan data yang di ambil dari berbagai sumber yang di peroleh dari anamnesa pasien dan internet.
                
1.5            Kegunaan
            Makalah ini diharapkan dapat berguna bagi para mahasiswi secara umum dan dapat menambah wawasan tentang materi yang di bahas.
    
1.6            Sistematika penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan
1.4  Metode penulisan
1.5  Kegunaan
1.6  Sistematika penulisan
         BAB II PEMBAHASAN
                 2.1  Definisi Anemia aplastik
                 2.2  Epidemiologi
                 2.3  Klasifikasi Anemia aplastik
                 2.4  Etiologi Anemia aplastik
                        2.4.1 Radiasi
                        2.4.2 Bahan-bahan Kimia
                        2.4.3 Obat-obatan
                        2.4.4 Infeksi
                        2.4.5 Faktor Genetik
                        2.4.6 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain
                 2.5 Patogenesis
                 2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik
                 2.7 Pemeriksaan Penunjang
                       2.7.1 Pemeriksaan laboratorium
                       2.7.2 Pemeriksaan Radiologik
           
     2.8 Diagnosa
                 2.9 Diagnosa Banding
                 2.10 Penatalaksanaan
                 2.11 Prognosis

     BAB III TINJAUAN KASUS
                 3.1 Tinjauan Kasus

     BAB IV PENUTUP
                 4.1 Kesimpulan
                 4.2 Saran
                 4.3 Daftar pustaka




BAB II
PEMBAHASAN

2.1       KONSEP DASAR
ANEMIA APLASTIK
2.1       Definisi
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia. Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.

2.2       E
pidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.  Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun.  The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Studydan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas. Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika
2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
       A. Klasifikasi menurut kausa :
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemiaFanconi

B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1)
Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.
Anemia aplastik Berat

- Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%
dengan <30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut :
-netrofil < 0,5x109/l
-
trombosit <20x109 /l
-
retikulosit < 20x109 /l

Anemia aplastik sangat berat
Sama seperti anemia aplastik berat kecuali
netrofil <0,2x109/l


Anemia aplastik bukan berat
Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut :
- netrofil < 1,5x109/l
- trombosit < 100x109/l
- hemoglobin <10 g/dl

           

2.4 Etiologi Anemia Aplastik
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui. Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).
Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia )
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
     Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
        Efek regular
       Bahan-bahan sitotoksik
      Benzene
      Reaksi Idiosinkratik
     Kloramfenikol
     NSAID
     Anti epileptik
     Emas
     Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
 Virus
    Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
    Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
    Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
    Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
    Eosinofilik fasciitis
    Hipoimunoglobulinemia
    Timoma dan carcinoma timus
    Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
    Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
    Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
   Anemia Fanconi
    Diskeratosis kongenita
    Sindrom Shwachman-Diamond
    Disgenesis reticular
    Amegakariositik trombositopenia
    Anemia aplastik familial
    Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
    Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

2.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis.
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi.
Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.
2.4.2 Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.


2.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.
Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik

Kategori         Resiko Tinggi             Resiko Menengah      Resiko Rendah
Analgesik                                                                                                              Fenasetin, aspirin,
salisilamide
Anti aritmia                                                                                                          Kuinidin, tokainid
Anti artritis                                                            Garam Emas                        Kolkisin
Anti konvulsan                                                    Karbamazepin,                    Etosuksimid, Fenasemid,  
hidantoin,                              primidon, trimethadion,                    
felbamat                                               sodium valproate
Anti histamin                                                                                                        Klorfeniramin,
pirilamin, tripelennamin
Anti hipertensi                                                                                                      Captopril, methyldopa
Anti inflamasi                                                      Penisillamin,                         Diklofenak, ibuprofen,
fenilbutazon,                        indometasin, naproxen,
oksifenbutazon                    sulindac
Anti mikroba
Anti bakteri                                                           Kloramfenikol                     Dapsone, metisillin,
penisilin, streptomisin,
β-lactam antibiotik
Anti fungal                                                                                                            Amfoterisin, flusitosin
Anti protozoa                                                       Kuinakrine                            Klorokuin, mepakrin,
pirimetamin
Obat Anti neoplasma
Alkylating             Busulfan,
agen                       cyclophosphamide,
                                melphalan, nitrogen
mustard
Anti metabolit      Fluorourasil,
mercaptopurine,
methotrexate
Antibiotik              Daunorubisin,
Sitotoksik              doxorubisin,
mitoxantrone
Anti platelet                                                                                                          Tiklopidin
Anti tiroid                                                                                                              Karbimazol, metimazol,
etiltiourasil, potassium
perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko rendah.
 2.4.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang
2.4.5 Faktor Genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa.
2.4.6 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain
1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan
    hipoplasia sumsum tulang.2
2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH).
    Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai
    pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH.2

3. Kehamilan
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan berikutnya
2.5 Patogenesis
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel. Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ.7 Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin

Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4 terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan.
Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)2

Jenis Keluhan                                     %
Pendarahan                                          83
Lemah badan                                     
80
Pusing                                                   
69
Jantung berdebar                                
36
Demam                                                
33
Nafsu makan berkurang                   
29
Pucat                                                     
26
Sesak nafas                                         
23
Penglihatan kabur                              
19
Telinga berdengung                            
13

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.
Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik

Jenis Pemeriksaan Fisik                      %

Pucat                                                      100                                                        
      Pendarahan                                          63
Kulit                                                       34
Gusi                                                        26
  Retina                                                  20
  Hidung                                                  7
Saluran cerna                                       6                                             
Vagina                                                   3
Demam                                                 16
Hepatomegali                                      7
Splenomegali                                        0
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.2
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.
Plasma darah biasanya mengandunggrowth factor hematopoiesis, termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun.International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.
2.7.2 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak.
2.8 Diagnosa
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia aplastik (lihat tabel 1).
2.9 Diagnosa Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel 6.



Table 6 Penyebab Pansitopenia

Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
2.10 Penatalaksanaan

Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel 7).
Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik
• Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga   menjadi   
   penyebab anemia aplastik.
• Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
• Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
• Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat    
  diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada
  (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang
  belum mendapat terapi G- CSF.
• Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
  histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.

Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9 Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang.

Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.

Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.
a. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.

b. Terapi Imunosupresif

Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalahantithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada :

-Anemia aplastik bukan berat

- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
      - Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak   
        terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis. Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.15 Sebuah protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.
Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik

Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan dengan   
     saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila tidak ada reaksi   
     anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
    Asetaminofen 650 mg peroral
    Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
    Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :

    ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
      Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan dilanjutkan    
       selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness, tapering dosis setiap 2        minggu.
      Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%.Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan siklosporin.Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.
 Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik sepertiGranulocy te-Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.
Gambar 2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum
tulang dari donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur.
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memilikisurviva l yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan.  Akan tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation
(EBMT) adalah sebagai berikut :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan
  trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3
  dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.

2.11 Prognosis
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam halcondi tioning untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama.







BAB III
TINJAUAN KASUS
        I.            Pengumpulan Data
A.  Identitas Pasien
Nama               : Ny. Aryani   
Umur               :
3o th             
Status              : Menikah
Agama             :  Islam                       
Suku/bangsa    : Sunda
/ Indonesia                
Pendidikan      : SMA                        
Alamat            : kp.
Parigi
Jam masuk       : 12:00 wib
Tgl masuk        : 11 Juli 2011
Perawatan       : IGD
B.     Data Objektif
1.      Pemeriksaan umum
Keadaan umum                 : lemas dan gusi berdarah
Kesadaran                                     : Normal
Keadaan emosional           : stabil
2.      Pemeriksaan Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah                  : 110/70 mmhg
Suhu                                  :  36 o  C
Nadi                                  :  80  x/menit
Respirasi                            :  24  x/menit
3.      Pemeriksaan Laboratorium:
Hb                                     :  8.3 g/dl         ( menurun )
Leukosit                :  3,800            ( menurun )
Hematokrit            :  28 %             ( menurun )
Trombosit              : 0
Segment                : -20                 ( menurun )
Eosinotil                : 0
Limposit                : > 50               ( meningkat )
Batang                   : 20
Manosit                 : 5

4.      Pemeriksaan Khusus
a.       Status generalis
Kepala             : KA +/+, SI -/-
Leher               : dbn
Torax               : Sisa res, M(-), g(-) Sn, Ves, th -/-, cuh -/-.
Abdomen        : datar, supel, Nego epygestrium Bu (+) N H/e tidak teraba
Ekstermitas     : hangat, CRT C2”

5.      Pemeriksaan Penunjang
ü  DPL
ü  Kimia Darah

C.    Data Subyektif
1.      Alasan Kunjungan
ü  Mengeluh karena gusi berdarah
2.      Riwayat penyakit :
ü  Os datang keluhan dengan gusi berdarah,
ü  Sejak 4 hari yang lalu, mual dan muntah.
3.      Riwayat Kesehatan
a.       Riwayat kesehatan yang lalu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya              : ya 
Apakah pernah mengalami gusi berdarah                                                       : ya
b.      Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengeluh
karena gusi berdarah.

4.      Pola kebiasaan sehari-hari
a.       Pola Nutrisi
Nafsu makan tidak terpengaruh
b.      Pola Istirahat
Normal
c.       Pola aktivitas
Normal
d.      Pola eliminasi
BAB dan BAK tidak terpengaruh
e.       Pola personal hygiene
Personal hygiene cukup
5.      Keadaan psikososial
a.       Keadaan psikologi      : pasien khawatir dengan kondisinya
b.      Keadaan sosial            : Normal

     II.            Interprestasi Data
Diagnosa Medis          : Ny. Ariyani 30 th, dengan Anemia aplastik
Data Dasar                  : Ny. Mengatakan mengeluh karena gusi berdarah
Kebutuhan                  :
Ø  Informasikan tentang penyebab Anemia aplastik
Ø  Informasikan tentang gejala-gejala Anemia aplastik
Ø  Informasikan tentang cara pencegahan Anemia aplastik
Masalah                       : penyakit Anemia aplastik, potensial terjadi perdarahan pada   gusi.
  III.            Diagnosa potensial
ü  Anemia aplastik          : potensial terjadinya bisa diderita seumur hidup

  IV.            Tindakan Segera
1.      Infus dengan cairan RL selama 4 jam 8 Tc iu Unit
2.      Ty Raniditi                  2 x 1 ampul
3.      Detanetasare   igi        3 x 2 ampul
4.      Iji cefataxim                2 x 1 ampul – skin test
5.      Ondan sentron igi       3 x 1 ampul
6.      Astrackrames              3X1 ampul
·         Pemeriksaan fisik
Ø  Keadaan umum : Lemah
Ø  Tekanan Darah           : 110/70 mmhg
Ø  Suhu                           : 36 o C
Ø  Respirasi                     : 24x/menit
Ø  Nadi                            : 80x/menit

     V.            Perencanaan
·         Observasi keadaan umum , TTV pasien/ 2x sehari , dan pemeriksaan laboratoium
·         Kaji karakteristik gusi berdarah dan penyebaran kaji tingkat cemas pasien .
·         Ajarkan atau beritahukan prosedur tindakan pencangkokan tulang sumsum.
·         Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi dan pelaksanaan pencangkokan tulang sumsum
·         Beri informed consent jika Ny. setuju dengan apa yang akan dilakukan
·         Anjurkan Ny. untuk banyak istirahat
·         Berikan Ny. pendidikan tentang  penyebab Anemia aplastik
·         Berikan obat pada Ny.
·         Anjurkan Ny. untuk dirawat inap di rumah sakit
·         Anjurkan Ny. untuk kontrol rutin

  VI.            Pelaksanaan
·         mengobservasi keadaan umum , TTV pasien/ 2x sehari , dan pemeriksaan laboratoium K/U : lemah , TTV : TD : 120/70 mmhg,  suhu : 36o C nadi : 80x/menit, respirasi 24x/menit, Hb (6.6 g/dl), Hematokrit ( 17.9 %), Leukosit ( 17400 ), RBe 2,85 x 10 g/m.
·         mengkaji tingkat cemas pasien.
·         berkolaborasi dengan dr. Spesialis Penyakit dalam.
·         Memberikan  informed consent jika Ny. setuju dengan apa yang akan dilakukan
·         menganjurkan Ny. untuk banyak istirahat
·         memberikan Ny. pendidikan tentang  penyebab Anemia Aplastik
·         memberikan obat pada Ny.
·         menganjurkan Ny. untuk dirawat inap di rumah sakit

VII.            Evaluasi
·         Informed consent
·         Keadaan umum           : lemah
·         Hasil TTV                              
Ø  Suhu                : 36 o C
Ø  Tekanan Darah : 120/70 mmhg
Ø  Nadi                : 80x/menit
Ø  Respirasi         : 24x/menit
·         Ny. mengerti penjelasan yang diberikan tentang pemeriksaan yang telah di lakukan baik fisik , pemeriksaan laboratorium dan pelaksanaan operasi yang akan dilakukan.
·         Telah diberikan terapi :
o   Cek DPL post transfuse
o   (+) Antasid tubesk
o   Iangkah tindak lanjut :
o   IUFD RL / 4jam
o   Injek :  Rani                2 x 1 ampul     Vitamin K        3 x 1 ampul
Cefo                2 x 1 gram       peka                 3 x 2 ampul
Ondan              3 x 1 ampul
Us tranexamat 3 x 1 ampul










3.2 SOAP
Hari / Tanggal
jam
Catatan Perkembangan
Senin/ 11-07-2011
12:00 wib
S     => Ny. Aryani, Umur 30 tahun, mengeluh karena gusi berdarah, 
             kulit pucat dan bintik – bintik merah dan kebiruan pada kulit.
O    => Tanda – tanda vital :
             Respirasi             : 24 x menit
             Nadi                    : 80 x menit
             Suhu                   : 36 o C
             Tinggi badan      : 154 cm
             Berat badan        : 65 kg
            
            Pemeriksaan Fisik :
            Kepala             : KA +/+, SI -/-
            Leher               : dbn
            Mata                : Cc +/+
            Torax               : Sisa res, M(-), g(-) Sn, Ves, th -/-, cuh -/-.
            Abdomen        : Datar, supel, Nego epygestrium Bu (+) N H/e    
                                      tidak teraba
            Ekstermitas     : hangat, CRT C2”

A   => Diagnosa       : Anemia aplastik
           Dasar             : Ny. Mengatakan mengeluh karena gusi -
                                   berdarah.
                                   Umur 30 tahun
                                   Tinggi badan 154 cm
                                   Berat badan 65 kg
                                    TTV :
                                   Suhu         : 36 o C
                                   Nadi         : 80 x/menit
                                   Respirasi  : 24 x/menit
                                   TD            : 110/70 mmhg


P    => Observasi keadaan umum dan TTV pasien
            Memberi Infus dengan cairan RL selama 4 jam 8 TPM
            Memberi obat :
·         Ty Raniditi                  2 x 1 ampul
·         Detanetasare   igi        3 x 2 ampul
·         Iji cefataxim                2 x 1 ampul – skin test
·         Ondan sentron igi       3 x 1 ampul
·         Astrackrames              3X1 ampul

Evaluasi => Informed consent
·         Keadaan umum           : lemah
·         Hasil TTV                              
Ø  Suhu                : 36 o C
Ø  Tekanan Darah : 120/70 mmhg
Ø  Nadi                : 80x/menit
Ø  Respirasi         : 24x/menit
·         Ny. mengerti penjelasan yang diberikan tentang pemeriksaan yang telah di lakukan baik fisik , pemeriksaan laboratorium dan pelaksanaan penangkokan tulang sumsum  yang akan dilakukan.
·         Telah diberikan terapi :
o   Cek DPL post transfuse
o   (+) Antasid tubesk
o   Iangkah tindak lanjut :
o   IUFD RL / 4jam
o   Injek :  Rani    2 x 1 ampul
            Vitamin K        3 x 1 ampul
Cefo                2 x 1 gram
peka                  3 x 2 ampul
Ondan              3 x 1 ampul
Us tranexamat 3 x 1 ampul
                                                          
                                                             TTD
                                                          Rohmah
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan komponen selular pada darah tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia (kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit).
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidensinya bervariasi di seluruh dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Frekuensi tertinggi insidensi anemia aplastik adalah pada usia muda.
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan terkait dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang ditururunkan seperti anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik merupakan idiopatik.
Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan manifestasi dari pansitopenia yang terjadi. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain- lain. Pengurangan elemen lekopoisis (granulositopenia) menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling berat.
Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk anemia aplastik. Anemia bersifat normokrom normositer dan tidak disertai tanda-tanda regenerasi. Leukopenia berupa grnaulositopenia. Trombosit kuantitas berkurang sedang secara kualitatif normal. Sumsum tulang akan mengandung banyak sel lemak dan menganduk sedikit sekali sel-sel hemopoisis. Tidak terlihat penambahan sel primitif.
Anemia aplastik bukan berat memiliki sumsum tulang yang hiposelular dan dua dari tiga kriteria (netrofil < 1,5x109/l, trombosit < 100x109/l, hemoglobin <10 g/dl). Anemia aplastik berat memiliki seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu, dan dua dari tiga kriteria (netrofil < 0,5x109/l, trombosit <20x109 /l, retikulosit < 20x109 /l). Anemia aplastik sangat berat sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l.
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi PRC dan trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi juga harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.
4.2 SARAN
           
Dengan adanya makalah ini penulis berharap bagi para pembaca dapat lebih mangetahui penyebab dan gejala-gejala dalam kanker payudara diharapkan untuk para pembaca agar bisa memahami isi makalah ini dan mengerti tentang gejala-gejala Anemia Aplastk yang terdapat manusia. Penulis mohon maaf apabila ada kesalahan yang terdapat di makalah ini

4.3 DAFTAR PUSTAKA
      1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR, Foerster  
          J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia- London: Lee& Febiger,  
          1993;911-43.
      2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu    
          Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8.
3. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK
    http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic
    Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
    Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp